Skip to main content

Video Baru di YouTube channel-nya Cantik Selamanya #newvideoalert

Sudah lama gak nulis blog, hari ini aku baru saja upload video lanjutan dari video nasihat buat yang mau menikah. Supaya pernikahannya langgeng dan bahagia. Mau, 'kan ? Banyak orang yang menikah tetapi tidak mesra hubungannya dengan pasangan. Masing-masing sibuk dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Padahal, menikah itu menyatukan dua orang dalam satu hubungan yang erat, ada ketergantungan satu sama lain. Dua jadi satu. I need you, like you need me. Gitu. Kalau orang menikah 'kan inginnya bahagia, awet selamanya, hingga maut memisahkan. Kalau menikah tetapi dingin satu sama lain. Tidak ada kangen lagi. Kepinginnya ketemu teman-teman yang asik itu. Siapa yang mau tinggal dalam pernikahan seperti itu? Nah, kalau video yang sebelumnya bisa dilihat dengan klik di sini , video lanjutannya bisa dilihat dibawah ini.. Sok, atuh, di tonton.. Jangan lupa SUBSCRIBE , ya... lalu share, mungkin ada yang perlu nasihat supaya mantap langkahnya untuk menikah. Take care! 

Suatu Pagi di Ruang Tunggu



Menunggu giliran pendaftaran rawat jalan di sebuah rumah sakit umum pusat di Jakarta, duduk di sebelahku seorang perempuan dewasa. Kira-kira ia berumur tigapuluhan awal. Aku tersenyum kepadanya ketika pandangan kami bertemu. Dia pun tersenyum sekilas lalu berkata, "saya dari Jonggol, kanker payudara." 

Seketika terbayang sebuah kota yang jauh di Jawa Barat sana. Pasti dia berangkat sangat pagi untuk bisa tiba di rumah sakit ini pagi-pagi agar dapat mengantri bersama puluhan pasien lainnya. Dia berhenti sejenak untuk melihat reaksiku. Aku yang selalu tertarik dengan kisah hidup manusia pun menunjukkan perhatianku kepada ceritanya. "Stadium berapa," tanyaku. 

"Stadium tiga," jawabnya. “saya sudah dibiopsi di RSUD, lalu dirujuk ke sini. Dokter sini suruh saya cek ulang semua untuk persiapan operasi di sini. Periksa jantung, ronsen...” dia berhenti sejenak sambil melihat reaksiku. Aku terus menyimak.

"Saya dibantu relawan," dia melanjutkan. "Saya janda, suami saya pergi waktu saya hamil anak ketiga. Dia gak pernah datang untuk nengokin anak-anak. Saya sempat bingung. Dulu waktu ada dia, saya jualan es buah, setelah dia pergi, saya harus kerja lain. Jadi akhirnya saya jual rongsokan, dari situ saya bisa bayar kontrakan dan makan buat anak-anak. Mereka juga kan perlu jajan."

Dia tenang bercerita tanpa nada keluhan. Berdandan rapih dengan blazer seperti orang kantoran, katanya dandan begitu itu adalah persiapan untuk nanti kemo. Aku tersenyum salut meski dalam hati menggigil memikirkan statusnya sebagai janda tiga anak yang terkena sakit kanker payudara. Kanker pembunuh perempuan seperti halnya kanker serviks. 

“Bekas biopsinya masih merembes,” ceritanya, “mereka gak tutup luka bekas biopsinya, saya harus bersihkan sendiri setiap kali pembalutnya basah.” Duh, aku gak tahan mendengar cerita tentang luka dan darah! Perutku langsung terasa seakan mulas!

"Anaknya umur berapa aja," tanyaku ingin tahu tentang keluarganya. Sekalian mengalihkan cerita dari soal luka itu. 

"Yang paling besar umur enam tahun, yang paling kecil tiga tahun," jawabnya. "Saya untung karena belum ada yang sekolah," lanjutnya. "Nanti saya mau cari kontrakan di dekat sini karena biaya transportnya besar kalau pulang balik ke Jonggol. Relawan bantu saya dapat sumbangan dari anggota dewan. Kata pak dewan, saya jangan kerja dulu, fokus untuk sembuh aja. Uang dari anggota dewan sudah saya pakai untuk lunasi tunggakan kontrakan delapan bulan. Waktu saya sakit, saya jadi gak bisa kerja, terpaksa menunggak kontrakan. Bos saya juga bantu saya belikan mesin cuci yang harga delapan ratus ribu supaya saya gak capek, katanya. Biar cepat sembuh" 

Terpana aku mendengar cerita perempuan ini. Bisa dibilang dia beruntung dengan adanya semua bantuan itu. 

"Pakai BPJS 'kan?" selidikku. 

"Kartu Indonesia Sehat," jawabnya seraya merogoh sakunya sambil mengeluarkan kartu KIS, Kartu Indonesia Sehat. "Ini yang dari pak Jokowi itu, gratis," katanya sambil menunjukkan kartunya. Terbaca namanya, Sandra. Baru kali itu aku tahu ternyata ada layanan kesehatan gratis untuk warga tak mampu. Terharu mendengarnya. Dulu, pasien kanker harus menyiapkan dana yang besar hingga ratusan juta rupiah. Sampai terjual rumah dan tanah. Bahkan ada banyak cerita tentang pasien kanker yang akhirnya meninggal dunia tanpa mengalami kesembuhan setelah hartanya habis terjual untuk membiayai pengobatannya. Kanker memang dikenal sebagai penyakit yang mengerikan. Entah apakah Sandra tahu tentang hal ini, tapi dari sikapnya jelas dia tahu dia beruntung. Sangat tabah ia memutuskan untuk melupakan suaminya yang tak kunjung kembali usai kelahiran anak mereka yang ketiga. Pikirannya tertuju pada cara menghidupi diri dan ketiga anaknya. Meski masih memiliki orang tua, namun Sandra tak berpikir untuk meminta bantuan mereka dan memilih untuk berjuang sendiri karena mereka pun hidup bersahaja. Dengan tubuh kurus dan tutur kata yang lembut, juga tubuh yang bersih, siapa yang sangka dia adalah seorang perempuan yang perkasa pengumpul rongsokan. Aku mulai mengagguminya.

Dia terus bercerita tentang usaha rongsokannya, bagaimana dia mengelolanya. Dia bilang dia punya daftar harga dari bosnya. Dia ceritakan tentang keuntungan yang diperolehnya setiap minggu, cukup untuk membayar kobtrakannya di Jonggol dan makan untuk dirinya dan ketiga anaknya. Dia pun bercerita  tentang harga-harga barang rongsokan yang akan dibayarnya bila kita ingin menjual barang bekas dari rumah kita. Dia bersemangat ketika menceritakan tentang pekerjaannya. Bahwa ia memilih untuk tidak mengambil untung terlalu banyak dari orang yang menjual kepadanya mengikuti patokan harga dari bosnya. “Saya cuci dulu rongsokannya sebelum saya kasih ke bos saya,” ceritanya “tapi kata pak dewan, saya jangan capek dulu, jadi terpaksa saya berhenti kerja dulu.”
Tak lama si relawan datang. Sandra memperkenalkannya kepadaku. Si relawan pun sekilas menjelaskan tugasnya sebagai pendamping Sandra. Barusan tadi dia membuat foto kopi berkas untuk keperluan administrasi BPJS Kesehatan.

"Bapak dari relawan mana?" tanyaku bak wartawan yang sedang melakukan peliputan. Dia mengeluarkan kartu anggotanya sambil menyebut nama organisasi yang tak pernah kudengar sebelum.. Well, tepatnya aku belum pernah dengar adanya organisasi relawan untuk menolong orang sakit. Biasanya bantuan untuk orang sakit itu bersifat dadakan. Lalu dia menjelaskan tentang organisasinya yang adalah bagian dari serikat buruh di Cikarang. 

"Bapak tinggal di mana?" tanyaku masih ingin tahu.

"Di Tambun, Bekasi," jawabnya. Aku jadi kagum. Dari Bekasi dia ke Jonggol untuk mengurus pasien yang ditanganinya. Dia bersama rekan-rekannya pergi mencarikan dana untuk biaya transportasi pasien seperti Sandra. Dengan biaya pengobatan yang sepenuhnya ditanggung oleh BPJS Kesehatan, perjuangan pasien kanker (dan sakit berat lainnya) sudah jauh lebih ringan. Aku terharu dan kagum pada kepedulian para relawan yang setia mendampingi pasien. Si relawan itu menjelaskan bahwa ia akan terus mendampingi hingga pengobatan selesai. Jadi, setiap kali pasien akan ke rumah sakit, sang relawan datang menjemput. Begitu peraturan dalam organisasi mereka. Dia pun bercerita bahwa sebelum mendampingi Sandra, dia sudah mendampingi pasien lain hingga selesainya proses pengobatan.

"Pak Lurah bantu pinjamkan mobil," kata Sandra. "Tapi saya harus belikan bensinnya dan kasih makan supirnya. Makanya saya mau cari kontrakan di dekat sini. Nanti saya bawa anak-anak saya. Tapi saya mau bicara dulu dengan keluarga saya supaya ada yang jaga anak-anak saya kalau saya ke rumah sakit. Pak Dewan sudah kasih uang untuk kontrakannya." Sandra pun menyebutkan sejumlah uang yang didapatnya untuk membantu dirinya dan anak-anaknya selama masa pengobatannya.

Aku menatapnya haru. Perjuangannya berat dengan kanker payudara stadium 3, rasa sakit yang harus dirasakan sebagai efek penyakitnya. Tanpa orang dewasa yang menolongnya untuk mengurus kehidupan sehari-hari. Makan minum bagi dirinya dan anak-anaknya. Terbayang efek kemoterapi yang biasa dirasakan pasien setiap usai menjalani tindakan kemoterapi. Biasanya selama dua hari sampai satu minggu setelah tindakan kemoterapi, pasien mengalami kondisi yang tidak nyaman yang membuat pasien tak berdaya. Kuatkah Sandra menjalaninya nanti? 

Hatiku bersyukur bahwa pasien seperti Sandra tak perlu lagi memikirkan biaya pengobatan yang demikian besar. Setidaknya, beban pikirannya berkurang sehingga dapat dengan tenang berfokus pada pengobatan tanpa khawatir dengan biayanya. Sandra beruntung ada orang-orang dermawan yang membantu meringankan biaya hidupnya, transport dan makan. Namun harapanku untuk keluarga-keluarga yang ada anggotanya sakit berat dapat bergotongroyong membantu tanpa harus khawatir dengan biaya pengobatan karena pemerintah telah menyediakan dananya melalui program Kartu Indonesia Sehat yang bagiku sangat melegakan. 

Tiba-tiba terdengar nomor antrianku  dipanggil ke loket. Aku bersiap untuk berdiri, kugenggam tangannya dan kukatakan, "kuat ya, berjuang untuk anak-anak." Dia mengangguk, "ya, bu." Akhirnya aku peluk dia saat aku berdiri. Sungguh aku berharap dia bisa melewati perjuangannya melawan kanker dan menang. She deserves it


Popular posts from this blog

Cerita Bersambung - Nita Si Sekretaris

Mulai hari ini, setiap hari Rabu, di Cantik Selamanya ada cerita bersambung karangan Renthyna. Yes , it ' s a fiction . Semua serinya akan masuk di tag " fiction ". Hope you'll enjoy it ! :) Sinopsis: Nita, seorang karyawan yang bermimpi punya harapan yang indah di masa depan. Semangat empat limanya dipakai untuk menggempur semua tugas-tugas yang diberikan atasan karena berprinsip teguh untuk selalu memberikan hasil terbaik untuk sang pimpinan. Menurut ukurannya, apa yang diinginkannya tidaklah muluk-muluk, bahkan dia juga ikhlas dengan jumlah Rupiah yang diterima dari hasil jerih payahnya di kantor. Nita punya mimpi dan berharap setiap hari. Dalam pengejaran akan mimpi-mimpinya, dia juga harus menghadapi kenyataan bahwa mimpinya tidak dapat diraih semudah ia membalikkan telapak tangannya. Nita Si Sekretaris Matanya memang menatap tajam ke arah gambar-gambar komik yang ditaruh di atas meja sambil kedua tangannya memegangi lembar kiri-kanan komik tersebut. Kepalanya se

Selimut Hati (by Dewa 19)

Suka Dewa 19 ? Aku suka lagu-lagunya. No offence but aku gak suka kasarnya Ahmad Dani . Siapa, sih , yang suka..? He he he.. Tapi, aku suka lagu-lagunya. Well, don ' t judge the book by its cover , right ? Aku juga suka suaranya Once . Nice voice . Salah satu lagu yang aku suka adalah Selimut Hati . " Aku.. kan menjadi malam-malammu.. kan menjadi mimpi-mimpimu.." Very nice . Lagunya bikin ngelamun . Lembut dan meyakinkan. Meyakinkan, bahwa yang menyanyikan lagu ini bener-bener ngerti perasaan kekasih hatinya. So sweet ... Dia bener-bener pengen menyenangkan hati kekasihnya, waktu bilang , " Aku bisa untuk menjadi apa yang kau minta .." Tapi dia juga minta pengertian bahwa dia gak bisa seperti kekasih lama yang mungkin masih terkenang-kenang... Ah ... so dearly ... Wouldn't it be nice kalau ada orang yang berlaku begitu untuk kita? Dengan lembut mengungkapkan rasa sayangnya tanpa terdengar menjadi murahan... Tanpa menjadi gombal .. kain bekas buat lap l

Cerita Bersambung - Nita Si Sekretaris (2)

Cerita sebelumnya : Nita, seorang sekretaris, hidup dengan optimis namun tidak neko-neko. Namun, keoptimisannya kerap diuji, apalagi dia "hanya" seorang... Nita Si Sekretaris Nita tidak bisa mengerti, kenapa semua pekerjaan Vero tersebut harus dikerjakannya. Ditambah lagi Vero malah marah-marah tidak karuan gara-gara Nita tidak menambah sepuluh persen pada kolom perkiraan tadi. “Sumpah, gue ga' tahu itu harus dikalikan berapa.” Cerita Nita pada Ellen. “Tapi elu tuh harusnya banyak bertanya dong, Nit. Lu harus lebih berinisiatif bertanya ke Vero kalau ada urusan kerjaan sama dia.” Ucap Ellen menguliahi. Saat itu Nita tidak berharap Ellen malah menasehatinya karena Ellen 'kan juga sama seperti dia yang adalah seorang sekretaris juga. Dia justru ingin seorang kolega bisa memberi kata-kata hiburan ataupun pemberi semangat pada saat-saat tidak menyenangkan seperti ini. Dan, walaupun bosnya adalah Pak Walker yang sudah tua tapi ramah, namun dalam logika Nita, Ellen sepantas