Sudah lama gak nulis blog, hari ini aku baru saja upload video lanjutan dari video nasihat buat yang mau menikah. Supaya pernikahannya langgeng dan bahagia. Mau, 'kan ? Banyak orang yang menikah tetapi tidak mesra hubungannya dengan pasangan. Masing-masing sibuk dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Padahal, menikah itu menyatukan dua orang dalam satu hubungan yang erat, ada ketergantungan satu sama lain. Dua jadi satu. I need you, like you need me. Gitu. Kalau orang menikah 'kan inginnya bahagia, awet selamanya, hingga maut memisahkan. Kalau menikah tetapi dingin satu sama lain. Tidak ada kangen lagi. Kepinginnya ketemu teman-teman yang asik itu. Siapa yang mau tinggal dalam pernikahan seperti itu? Nah, kalau video yang sebelumnya bisa dilihat dengan klik di sini , video lanjutannya bisa dilihat dibawah ini.. Sok, atuh, di tonton.. Jangan lupa SUBSCRIBE , ya... lalu share, mungkin ada yang perlu nasihat supaya mantap langkahnya untuk menikah. Take care!
Menunggu giliran pendaftaran rawat jalan di sebuah rumah sakit umum pusat
di Jakarta, duduk di sebelahku seorang perempuan dewasa. Kira-kira ia berumur tigapuluhan awal. Aku tersenyum kepadanya ketika pandangan kami bertemu. Dia pun
tersenyum sekilas lalu berkata, "saya dari Jonggol, kanker payudara."
Seketika terbayang sebuah kota yang jauh di Jawa Barat sana. Pasti dia
berangkat sangat pagi untuk bisa tiba di rumah sakit ini pagi-pagi agar dapat mengantri bersama puluhan pasien lainnya. Dia
berhenti sejenak untuk melihat reaksiku. Aku yang selalu tertarik dengan kisah
hidup manusia pun menunjukkan perhatianku kepada ceritanya. "Stadium
berapa," tanyaku.
"Stadium tiga," jawabnya. “saya sudah dibiopsi di RSUD, lalu
dirujuk ke sini. Dokter sini suruh saya cek ulang semua untuk persiapan operasi di sini. Periksa jantung, ronsen...” dia berhenti sejenak sambil melihat reaksiku.
Aku terus menyimak.
"Saya dibantu relawan," dia melanjutkan. "Saya janda, suami
saya pergi waktu saya hamil anak ketiga. Dia gak pernah datang untuk nengokin
anak-anak. Saya sempat bingung. Dulu waktu ada dia, saya jualan es buah, setelah
dia pergi, saya harus kerja lain. Jadi akhirnya saya jual rongsokan, dari situ
saya bisa bayar kontrakan dan makan buat anak-anak. Mereka juga kan perlu
jajan."
Dia tenang bercerita tanpa nada keluhan. Berdandan rapih dengan blazer
seperti orang kantoran, katanya dandan begitu itu adalah persiapan untuk nanti
kemo. Aku tersenyum salut meski dalam hati menggigil memikirkan statusnya
sebagai janda tiga anak yang terkena sakit kanker payudara. Kanker pembunuh
perempuan seperti halnya kanker serviks.
“Bekas biopsinya masih merembes,” ceritanya, “mereka gak tutup luka bekas
biopsinya, saya harus bersihkan sendiri setiap kali pembalutnya basah.” Duh, aku gak
tahan mendengar cerita tentang luka dan darah! Perutku langsung terasa seakan mulas!
"Anaknya umur berapa aja," tanyaku ingin tahu tentang
keluarganya. Sekalian mengalihkan cerita dari soal luka itu.
"Yang paling besar umur enam tahun, yang paling kecil tiga
tahun," jawabnya. "Saya untung karena belum ada yang sekolah,"
lanjutnya. "Nanti saya mau cari kontrakan di dekat sini karena biaya
transportnya besar kalau pulang balik ke Jonggol. Relawan bantu saya dapat
sumbangan dari anggota dewan. Kata pak dewan, saya jangan kerja dulu, fokus
untuk sembuh aja. Uang dari anggota dewan sudah saya pakai untuk lunasi
tunggakan kontrakan delapan bulan. Waktu saya sakit, saya jadi gak bisa kerja,
terpaksa menunggak kontrakan. Bos saya juga bantu saya belikan mesin cuci yang
harga delapan ratus ribu supaya saya gak capek, katanya. Biar cepat sembuh"
Terpana aku mendengar cerita perempuan ini. Bisa dibilang dia beruntung
dengan adanya semua bantuan itu.
"Pakai BPJS 'kan?" selidikku.
"Pakai BPJS 'kan?" selidikku.
"Kartu Indonesia Sehat," jawabnya seraya merogoh sakunya sambil mengeluarkan kartu
KIS, Kartu Indonesia Sehat. "Ini yang dari pak Jokowi itu, gratis,"
katanya sambil menunjukkan kartunya. Terbaca namanya, Sandra. Baru kali itu aku
tahu ternyata ada layanan kesehatan gratis untuk warga tak mampu. Terharu
mendengarnya. Dulu, pasien kanker harus menyiapkan dana yang besar hingga
ratusan juta rupiah. Sampai terjual rumah dan tanah. Bahkan ada banyak cerita
tentang pasien kanker yang akhirnya meninggal dunia tanpa mengalami kesembuhan
setelah hartanya habis terjual untuk membiayai pengobatannya. Kanker memang dikenal sebagai penyakit yang
mengerikan. Entah apakah Sandra tahu tentang hal ini, tapi dari sikapnya jelas
dia tahu dia beruntung. Sangat tabah ia memutuskan untuk melupakan suaminya
yang tak kunjung kembali usai kelahiran anak mereka yang ketiga. Pikirannya
tertuju pada cara menghidupi diri dan ketiga anaknya. Meski masih memiliki
orang tua, namun Sandra tak berpikir untuk meminta bantuan mereka dan memilih
untuk berjuang sendiri karena mereka pun hidup bersahaja. Dengan tubuh kurus dan tutur kata yang lembut, juga tubuh yang bersih, siapa yang sangka dia adalah seorang perempuan yang perkasa pengumpul rongsokan.
Aku mulai mengagguminya.
Dia terus bercerita tentang usaha rongsokannya, bagaimana dia mengelolanya.
Dia bilang dia punya daftar harga dari bosnya. Dia ceritakan tentang keuntungan
yang diperolehnya setiap minggu, cukup untuk membayar kobtrakannya di Jonggol
dan makan untuk dirinya dan ketiga anaknya. Dia pun bercerita tentang harga-harga barang rongsokan yang akan
dibayarnya bila kita ingin menjual barang bekas dari rumah kita. Dia
bersemangat ketika menceritakan tentang pekerjaannya. Bahwa ia memilih untuk
tidak mengambil untung terlalu banyak dari orang yang menjual kepadanya
mengikuti patokan harga dari bosnya. “Saya cuci dulu rongsokannya sebelum saya
kasih ke bos saya,” ceritanya “tapi kata pak dewan, saya jangan capek dulu,
jadi terpaksa saya berhenti kerja dulu.”
Tak lama si relawan datang. Sandra memperkenalkannya kepadaku. Si relawan
pun sekilas menjelaskan tugasnya sebagai pendamping Sandra. Barusan tadi dia
membuat foto kopi berkas untuk keperluan administrasi BPJS Kesehatan.
"Bapak dari relawan mana?" tanyaku bak wartawan yang sedang
melakukan peliputan. Dia mengeluarkan kartu anggotanya sambil menyebut nama
organisasi yang tak pernah kudengar sebelum.. Well, tepatnya aku belum pernah dengar adanya organisasi relawan untuk menolong orang sakit. Biasanya bantuan untuk orang sakit itu bersifat dadakan. Lalu dia menjelaskan tentang organisasinya
yang adalah bagian dari serikat buruh di Cikarang.
"Bapak tinggal di mana?" tanyaku masih ingin tahu.
"Di Tambun, Bekasi," jawabnya. Aku jadi kagum. Dari Bekasi dia ke Jonggol
untuk mengurus pasien yang ditanganinya. Dia bersama rekan-rekannya pergi
mencarikan dana untuk biaya transportasi pasien seperti Sandra. Dengan biaya
pengobatan yang sepenuhnya ditanggung oleh BPJS Kesehatan, perjuangan pasien
kanker (dan sakit berat lainnya) sudah jauh lebih ringan. Aku terharu dan kagum
pada kepedulian para relawan yang setia mendampingi pasien. Si relawan itu
menjelaskan bahwa ia akan terus mendampingi hingga pengobatan selesai. Jadi,
setiap kali pasien akan ke rumah sakit, sang relawan datang menjemput. Begitu
peraturan dalam organisasi mereka. Dia pun bercerita bahwa sebelum mendampingi
Sandra, dia sudah mendampingi pasien lain hingga selesainya proses pengobatan.
"Pak Lurah bantu pinjamkan mobil," kata Sandra. "Tapi saya harus belikan bensinnya dan kasih makan supirnya. Makanya saya mau cari kontrakan di dekat sini.
Nanti saya bawa anak-anak saya. Tapi saya mau bicara dulu dengan keluarga saya
supaya ada yang jaga anak-anak saya kalau saya ke rumah sakit. Pak Dewan sudah
kasih uang untuk kontrakannya." Sandra pun menyebutkan sejumlah uang yang
didapatnya untuk membantu dirinya dan anak-anaknya selama masa pengobatannya.
Aku menatapnya haru. Perjuangannya berat dengan kanker payudara stadium 3,
rasa sakit yang harus dirasakan sebagai efek penyakitnya. Tanpa orang dewasa
yang menolongnya untuk mengurus kehidupan sehari-hari. Makan minum bagi dirinya
dan anak-anaknya. Terbayang efek kemoterapi yang biasa dirasakan pasien setiap usai menjalani tindakan kemoterapi. Biasanya selama dua hari sampai satu minggu setelah
tindakan kemoterapi, pasien mengalami kondisi yang tidak nyaman yang membuat
pasien tak berdaya. Kuatkah Sandra menjalaninya nanti?
Hatiku bersyukur bahwa pasien seperti Sandra tak perlu lagi memikirkan
biaya pengobatan yang demikian besar. Setidaknya, beban pikirannya berkurang
sehingga dapat dengan tenang berfokus pada pengobatan tanpa khawatir dengan
biayanya. Sandra beruntung ada orang-orang dermawan yang membantu meringankan
biaya hidupnya, transport dan makan. Namun harapanku untuk keluarga-keluarga
yang ada anggotanya sakit berat dapat bergotongroyong membantu tanpa harus
khawatir dengan biaya pengobatan karena pemerintah telah menyediakan dananya
melalui program Kartu Indonesia Sehat yang bagiku sangat melegakan.
Tiba-tiba terdengar nomor antrianku dipanggil ke loket. Aku bersiap
untuk berdiri, kugenggam tangannya dan kukatakan, "kuat ya, berjuang untuk
anak-anak." Dia mengangguk, "ya, bu." Akhirnya aku peluk dia saat
aku berdiri. Sungguh aku berharap dia bisa melewati perjuangannya melawan
kanker dan menang. She deserves it.