Sudah lama gak nulis blog, hari ini aku baru saja upload video lanjutan dari video nasihat buat yang mau menikah. Supaya pernikahannya langgeng dan bahagia. Mau, 'kan ? Banyak orang yang menikah tetapi tidak mesra hubungannya dengan pasangan. Masing-masing sibuk dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Padahal, menikah itu menyatukan dua orang dalam satu hubungan yang erat, ada ketergantungan satu sama lain. Dua jadi satu. I need you, like you need me. Gitu. Kalau orang menikah 'kan inginnya bahagia, awet selamanya, hingga maut memisahkan. Kalau menikah tetapi dingin satu sama lain. Tidak ada kangen lagi. Kepinginnya ketemu teman-teman yang asik itu. Siapa yang mau tinggal dalam pernikahan seperti itu? Nah, kalau video yang sebelumnya bisa dilihat dengan klik di sini , video lanjutannya bisa dilihat dibawah ini.. Sok, atuh, di tonton.. Jangan lupa SUBSCRIBE , ya... lalu share, mungkin ada yang perlu nasihat supaya mantap langkahnya untuk menikah. Take care!
Mengingat Ibu Kartini, katanya adalah mengenang perjuangan seorang perempuan untuk kesetaraan gender.
Berjuang? Ibu Kartini berjuang? Gaklah.
Ibu Kartini itu punya ayah yang luar biasa. Dia melihat bahwa orang Belanda sekolah dan dia ingin keluarganya juga sekolah. Maka dia sekolahkan Kartini muda sampai usia 12. Sang Ayah, had chosen to send her to school, while he could have not done so.
Sayang, jaman itu gak biasa buat perempuan untuk sekolah tinggi-tinggi. I suppose, takut jadi terlalu tua untuk menikah. Jadi perawan tua. Gak bagus.
Maka meskipun Ibu Kartini yang sudah jadi perempuan terdidik masa itu berhasil mendapatkan dukungan untuk melanjutkan sekolah di Batavia, Ibu Kartini pun melepaskan impian sekolah itu. Karena dia harus menikah.
Keputusan itu biasa bagi perempuan yang bukan feminis. Menurut aku, Ms. Kartini bukan feminis. Because feminists would not do that. Feminists would literally fight for what they believe.
Sampai sekarang pun kebanyakan perempuan akan berpikir dua kali apabila dihadapkan pada pilihan menikah, atau jadi menundanya untuk sebuah cita-cita. Sekolah, misalnya. Atau karir untuk yang lain. Ibu Kartini gak melihat ada untungnya menunda perkawinan. She was intelligent enough to understand bahwa menunda pernikahan baginya pada masa itu bukanlah pilihan yang tepat. Jadi, Kartini menikah. Let' be fair about this, on her real intellectual capacity to choose.
Dan lagi-lagi Kartini beruntung. Setelah dia punya ayah modern yang percaya pada pendidikan (saudara Kartini disebut berhasil menjadi ahli bahasa), dia menikah dengan pria yang juga mengerti artinya pendidikan. Maka, Kartini pun mendapat dukungannya untuk mendirikan sekolah.
So was she fought? Dia berjuang? Aku, kok, gak setuju. Apa lagi kalau dibilang dia itu tokoh emansipasi.. Now her dad, ayahandanya, mungkin, lebih tepat untuk mendapat kehormatan itu.
Kartini punya ayah yang luar biasa buat ukuran jamannya. The fact he had some wives, itu adalah karena kebiasaan umum di jaman itu. It was normal.
Tetapi Ayahanda Kartini juga lah yang memutuskan bahwa keluarganya harus sekolah. Aku percaya karena dia pingin keluarganya sepintar orang Belanda. Dialah pejuang yang sesungguhnya.
Dia gak mau kalah sama Belanda. Dari RMAA Sosroningrat, ayahnya Kartini, kita belajar peran seorang ayah dalam keluarga. Alih-alih mengenang ibu Kartini sebagai pahlawan emansipasi, lebih baik generasi kita mengingat keberadaan RMAA Sosroningrat sebagai ayah yang peduli. Alih-alih merayakan Hari Kartini, lebih baik kita merayakan hari Bapak yang belum diadakan di Indonesia.
Para Bapak itu penting sekali dalam hidup manusia. Gak ada bapak, gak ada anak. Bapaklah pribadi yang membuat seorang manusia punya kepercayaan diri tinggi atau rendah.
Bapak itu penting. Let's be fair about it.
- Let's Learn More! What do I find about fathers di wall blog di halaman facebook "Cantik Selamanya"...?