Sudah lama gak nulis blog, hari ini aku baru saja upload video lanjutan dari video nasihat buat yang mau menikah. Supaya pernikahannya langgeng dan bahagia. Mau, 'kan ? Banyak orang yang menikah tetapi tidak mesra hubungannya dengan pasangan. Masing-masing sibuk dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Padahal, menikah itu menyatukan dua orang dalam satu hubungan yang erat, ada ketergantungan satu sama lain. Dua jadi satu. I need you, like you need me. Gitu. Kalau orang menikah 'kan inginnya bahagia, awet selamanya, hingga maut memisahkan. Kalau menikah tetapi dingin satu sama lain. Tidak ada kangen lagi. Kepinginnya ketemu teman-teman yang asik itu. Siapa yang mau tinggal dalam pernikahan seperti itu? Nah, kalau video yang sebelumnya bisa dilihat dengan klik di sini , video lanjutannya bisa dilihat dibawah ini.. Sok, atuh, di tonton.. Jangan lupa SUBSCRIBE , ya... lalu share, mungkin ada yang perlu nasihat supaya mantap langkahnya untuk menikah. Take care!
KUTIPAN MINGGU LALU: Rasanya bagaimana, begitu… Suara ribut-ribut itu berasal dari dalam ruangan bosnya yang ada di depan mejanya, tapi, di setiap e-mail yang masuk harus dibacanya dengan teliti, namun… dari dalam ruang kerja si Ibu masih juga mengganggu konsentrasinya dengan ucapan-ucapan bernada tinggi diantara Bu Marsya dan Pak Walker. Nita akhirnya mengulang lagi pesan e-mail yang disampaikan Sisca: that the recommendation on the chapter three has been amended by adding some… “NO!” teriak Bu Marsya… Hhhhh…! Nita membelalakan matanya lagi. Ia mencoba memastikan bahwa ia menangkap dengan baik pesan Sisca tadi.. | Baru bergabung? Jangan mulai dari episode ini, baca dulu bagian: |
Hhhhh…! Nita membelalakan matanya lagi. Ia mencoba memastikan bahwa ia menangkap dengan baik pesan elektronik dari Sisca tersebut.
Krrrrrrriiiingggggggg!
Telpon Nita berdering. Di layar telpon terlihat nama Ellen.
“Lo denger pada ngomongin apa’an sih?” Kata Ellen seketika Nita mengangkat gagang telponnya. Ia berbicara dengan suara dipelankan seolah-olah takut didengar orang lain. Padahal disampingnya ada Asti yang ikut serius mengamati ‘tragedi’ antara Bu Marsya dan Pak Walker. Sementara Darman tenang saja mengerjakan pekerjaannya sambil sekali-kali ikutan berusaha melihat dari kejauhan ke dalam ruang kerja Bu Marsya ketika ia beranjak dari kursinya.
“Ga kedengeran.” Sahut Nita pendek.
Sebenarnya, Nita juga tidak ingin tahu urusan dan persoalan orang lain sepanjang itu tidak menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Namun, rasanya sukar untuk bersikap secara terus terang seperti itu terhadap beberapa orang yang dikenalnya di tempat kerja ini.
Jadi, Nita memilih untuk diam saja sambil menunggu Ellen melanjutkan apa yang hendak diucapkannya.
“Hmmm…” Suara Ellen terdengar agak bimbang. Memang, Nita dan Ellen duduk tidak berjauhan. Sebenarnya mereka bisa saja berbicara secara langsung tanpa melalui sambungan telpon. Namun, begitulah sikap yang dipilih oleh Ellen.
“Ya udah deh, ntar elo kasih tau gue ya.” Kata Ellen kemudian, lalu menutup telponnya.
“Bilang sama bosnya, sabar, Bu. Gitu…” Kata Darman yang kemudian tertawa sendiri.
Nita sendiri tidak tahu harus bagaimana, kecuali kembali membaca semua e-mail yang masuk, sambil tangannya memegang stapler menggabungkan lembaran-lembaran laporan yang tadi dicetaknya.
Tiba-tiba, pintu ruang kerja Bu Marsya terbuka. Pak Walker berjalan keluar dengan mata sekilas melirik ke arah Nita. Entah bagaimana menggambarkan air muka Pak Walker. Beliau tidak terlihat emosional, tapi juga tidak terlihat senang. Wajahnya terlihat datar-datar saja, tapi juga seperti orang habis marah.
“Do a good work, Nita.” Tiba-tiba saja Pak Walker berbicara begitu sambil menepuk dinding partisi meja Nita dan berlalu memasuki ruang kerjanya sendiri.
Seketika saja Nita dapat merasakan wajahnya merah merona… “Ya, Pak.” Sahutnya, mungkin agak terlambat diucapkan.
Nita memang merasa malu. Walaupun, harusnya dia tidak perlu begitu. Tapi, Nita juga merasa tidak enak jika Pak Walker mengatakan itu tadi karena menyangkanya sejak tadi menguping pembicaraan mereka.
Ah, bodo amat. Nita mengumpat dalam hati. Ia buru-buru memasuki ruang kerja Bu Marsya tanpa menunggu sang bos memanggilnya terlebih dahulu.
“Permisi, Bu.” Sapa Nita sopan sambil mengetuk pintu ruang kerja Bu Marsya yang sedang terbuka.
Bu Marsya tidak menoleh sama sekali. Beliau menunduk saja sambil terus membaca laporan yang sedang dipegangnya. Sikapnya yang tenang sambil membaca laporan tersebut sama sekali tidak menunjukkan kondisi seseorang yang barus saja bertengkar.
Tanpa menunggu jawaban dari si bos, Nita segera melangkah masuk dan menaruh beberapa dokumen pada ‘tray-in’ yang ada dipinggir meja. Nita juga memeriksa beberapa dokumen yang ada di ‘tray-out’ dan memeriksanya satu per satu.
“Bu, nanti jam sepuluh Pak Was mau minta ijin mengurus perpanjangan SIM,” kata Nita, berdiri di depan meja dan menantikan jawaban Bu Marsya yang masih juga membaca laporan yang masih ada ditangannya itu, tapi sekarang laporan tersebut malah ditaruh diatas pangkuannya.
“Di jadwal Ibu, hari ini ada meeting dengan Sarah. Jadi, Bu?...” lanjut Nita lagi. Sekarang ia hanya memandangi Bu Marsya. Benar-benar menantikan jawaban beliau.
Bu Marsya seketika melirik ke arah Nita. Dari balik kacamatanya terlihat lirikan matanya tajam mengarah ke Nita.
“Laporan Balikpapan kamu bilang sudah-sudah. Sampai sekarang tidak ada. Apa saja kerjamu dari tadi?!”
Nita terperangah… Selama sepersekian detik ia berdiri kaku karena sama sekali tidak siap dengan reaksi Bu Marsya yang berbicara dengan pedas seperti itu. Dengan cepat, ucapan Bu Marsya ‘apa saja kerjamu dari tadi’ mengusik perasaan Nita. Saya tadi tidak menguping! Teriaknya dalam hati. Pingin rasanya ia membalas tajam tatapan mata si bos.
“Saya taruh di sini, Bu,” jawab Nita, justru dengan intonasi nada yang sangat halus. Dengan sedikit bergetar Nita mengambilkan dokumen yang tadi ditaruhnya di ‘tray-in’ dan diletakkannya di meja sang bos yang hatinya masih panas membara itu. Nita tak dapat menahan getaran tangannya.
“Mbak Yanti setengah jam lagi mau discuss training di Australia, ya, Bu?” Kata Nita lagi sambil melangkah keluar.
“Nggak. Nggak! Saya sibuk.” Sambil pandangan matanya tetap mengarah ke laporan Balikpapan itu, Bu Marsya mengibas-ibaskan tangannya tanda Nita harus cepat-cepat meninggalkan ruang kerjanya.
Bersambung
Baca juga: "Pembacaan Cerber "Nita si Sekretaris" di Radio Cempaka Asri FM!" |