Sudah lama gak nulis blog, hari ini aku baru saja upload video lanjutan dari video nasihat buat yang mau menikah. Supaya pernikahannya langgeng dan bahagia. Mau, 'kan ? Banyak orang yang menikah tetapi tidak mesra hubungannya dengan pasangan. Masing-masing sibuk dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Padahal, menikah itu menyatukan dua orang dalam satu hubungan yang erat, ada ketergantungan satu sama lain. Dua jadi satu. I need you, like you need me. Gitu. Kalau orang menikah 'kan inginnya bahagia, awet selamanya, hingga maut memisahkan. Kalau menikah tetapi dingin satu sama lain. Tidak ada kangen lagi. Kepinginnya ketemu teman-teman yang asik itu. Siapa yang mau tinggal dalam pernikahan seperti itu? Nah, kalau video yang sebelumnya bisa dilihat dengan klik di sini , video lanjutannya bisa dilihat dibawah ini.. Sok, atuh, di tonton.. Jangan lupa SUBSCRIBE , ya... lalu share, mungkin ada yang perlu nasihat supaya mantap langkahnya untuk menikah. Take care!
KUTIPAN MINGGU LALU: Saat itu Bu Marsya sedang bertelepon. Nita meninggalkan kantor sambil melambaikan tangan sebentar untuk berpamitan ke arah Bu Marsya dan segera meraih tasnya lalu cepat-cepat meninggalkan kantor. Dalam hati dia juga tidak ingin berpapasan dengan si jutek Vero yang mungkin saja akan menyuruh dia mengerjakan ini itu lagi tanpa mau tahu apakah hari sudah gelap atau tidak. Bodo amat Vero! Siapa dia? Ia mendesis dalam hati sambil berlari keluar melewati tangga darurat karena siapa tahu dia bisa saja berpapasan dengan Vero di depan lift. | Baru bergabung? Jangan mulai dari episode ini, baca dulu bagian: |
“Gimana, Ri? Oke kan?” tanya Nita pada Riri sambil mengatur letak kaca mata di depan cermin.
“Keren, tyuuh,” jawab Riri dan melanjutkan, ”pasti mahal, ya? ”
“Emang berapa, nih Mas harganya?” Nita malah bertanya pada pelayan toko optik yang sejak tadi hanya mendengarkan pembicaraan mereka saja.
“Ini, sesuai kuitansi, harganya tiga ratus enam puluh lima ribu. Lensa dan frame,” jawab si Mas karyawan optik dengan gamblang.
“Lensa dan frame?” Riri justru balik bertanya. ”Wah, lumayan dong. Lu pasti ga mau kalah ye sama bos elo. Sampe korban ngeluarin duit tiga ratus enam puluhan buat gonta ganti kacamata,” tukas Riri.
“Ya, nggak lah. Gue dah empat tahun ga ganti frame. Nih, frame yang lama penyok gara-gara ketimpa folder dokumen di kantor,” kata Nita sambil merogoh-rogoh kacamata lamanya dari dalam tas lalu mengeluarkan sebuah kacamata yang lensanya retak dan bagian tangkainya bengkok. “Kalo kacamata cadangan yang gue pake sekarang ini kurang enak kalo dipake lama-lama, Ri. Lagian tuh harga kacamata kan diganti kantor.”
Riri kemudian mengangguk-angguk tanda mengerti.
Maka Nita pun mengeluarkan empat lembaran uang nominal seratus ribuan, dan setelah menerima uang kembalian, ia melipat semua nota-nota pembayaran yang digabungkan dengan surat dari dokter mata dan memasukkannya ke dalam sebuah tempat penyimpanan nota plastik transparan ukuran setengah halaman untuk kemudian dimasukkan ke dalam tas.
Setelah itu mereka beranjak pergi dari toko optik tersebut dan berkeliling dalam mall sambil melihat-lihat aneka rupa pakaian dan sepatu di toko-toko.
Ketika sedang melihat-lihat sepasang sandal warna merah jambu yang sedang ada di bak obral, tiba-tiba saja Riri bertanya pada Nita ,“story tentang si misterius Wiguna itu gimana, Nit?”
“Ga tau,” jawab Nita datar sambil terus mengamat-amati kondisi sandal yang ternyata harganya dua ratusan ribu setelah harga diskon. “Mahal bener, ya ini sandal?...” ucap Nita tanpa bersambung.
“Wei, si misterius itu gimana kabarnya?!” dengan dahi mengkerut Riri ngotot mendapat jawaban dari Nita.
“Yah, gue ga tau, Rii..,” ujarnya sambil meletakkan sendal tersebut. Bagus tapi mahal banget, katanya dalam hati.
Maka merekapun meninggalkan bak sendal diskon tersebut.
Lanjutnya dengan suara gemas, “gue kan cerita tentang si misterius itu karena buat gue, dia itu aneh, jadi gue ceritu ke elu itu bukan karena gue naksir dia, lagiiii…”
“Hhhhh…” Riri menahan napas panjang, ia jadi sebal dengan jawaban Nita yang kurang seru tadi. Karena, bagi Riri, Nita adalah pribadi yang ‘lurus-lurus’ saja. Tidak pernah berlaku aneh-aneh, kegiatan-kegiatan yang dijalaninyapun juga terkesan boring menurut pendapat Riri. Dalam pandangannya, Nita itu, kalau sedang tidak membaca, ya, kalau sedang mood bagus ikutan kegiatan pemuda, atau pergi ke salon dan itupun frekwensinya bisa dihitung dengan jari. Jadi, kalau Nita bercerita tentang seorang pria yang menghujaninya hadiah-hadiah, tentu ini adalah berita besar buat Riri.
Tapi Nita tampak menunjukkan ekspresi wajah segan untuk memberikan jawaban lebih lanjut padanya. Lagi pula, ia merasa tidak tahu harus mengatakan apa-apa lagi pada Riri.
“Gue takut orang kantor berpikiran gue ini macarin vendor, Ri,” kata Nita pelan dengan wajah serius, setelah terdiam cukup lama.
“Jadi, kalau elo pindah dari tuh perusahaan, elo mau pacaran sama dia?” tanya Riri terus bak seorang wartawan infotainment sejati. “Mmmm… Bukan apa-apa sih, Nit. Gue seneng aja kalo elo dapat gantinya Ronald,” lanjut Riri dengan nada enteng. Padahal Nita kaget dengan perkataan Riri tadi. Matanya langsung terbelalak seketika itu juga memandang Riri yang akhirnya tampak terlihat menyesal telah menyebut-nyebut nama Ronald. Nita terlihat mau marah pada Riri.
Zzzzz…. zzzz….. zzzzz…. zzzzz…. zzzzz….
Telpon selular Nita bergetar. Dia mendengar dering suara SMS masuk di telpon selularnya.
Hhhhhhhh… Dalam hati Riri merasa lega. Karena, hampir saja dia kena semprot Nita karena sudah nekat menyebutkan nama keramat Ronald padanya. Untung... untung… ucapnya kemudian di dalam hati, sementara Nita kembali merogoh-rogoh tasnya mencari telpon selular tersebut..
Akhirnya, sang telpon selular ditemukan juga. Nita segera membaca pesan yang masuk:
Nit, sorry dong, gw ga msk lg besok. Anak gw sekarang ada di rmh skt nih. Gw mo minta tolong elo urusin perjalanannya Vero ke Aussie ya. Detail perjalanannya ada sm Vero. Vero udah gw ksh tau elo yg akan bantu dia. Thx y.
Setelah membaca pesan tersebut, Nita jadi tambah membelalakan mata. “Ouh!” suaranya pelan namun terdengar dengan nada geram dan wajah yang tampak kesal.
Mendengar suara kaget Nita, Riri jadi ikut kaget.
“Pesen dari siapa sih, Nit?” tanya Riri cemas. Melihat ekspresi wajah Nita yang seperti itu, membuatnya khawatir jangan-jangan pesan teks di telpon selular Nita adalah berita buruk.
“Tasya ga akan masuk kerja hari Senin depan,” jawab Nita dengan suara lemas.
“Ohhhh.. ah, gue pikir berita apaan. Taunya pesen dari temen kantor lo, ya?” sahut Riri. Dia merasa lega karena ternyata berita tersebut tidak seburuk yang disangkanya semula. Tapi… tiba-tiba dengan suara yang volume suara yang lebih keras dari sebelumnya – untung saja suasana di mall saat itu sedang ramai, mungkin karena mall sedang mengadakan memasang poster besar-besaran Up To 70% discount di beberapa bagian sudutnya – Riri berujar, “gile, ini kan masih hari Sabtu, gitu loh… Dia dah yakin ga akan masuk kerja hari Senin? Dah direncanain, kali, ya, Nit?” katanya dengan alis terangkat. Riri memang malah menjadi pihak yang emosi karena langsung merasa sebal mendengar mengenai berita teks tersebut.
Namun Nita diam saja. Raut wajahnya yang semula nampak kesal sekarang sudah menjadi datar-datar saja. Namun, beberapa toko yang menawarkan barang-barang menarik dengan poster memasang poster bertuliskan diskon 50% juga tidak diliriknya. Padahal, sementara itu, Riri menanti-nantikan jawaban Nita.
Lucu juga sih, Riri yang emosinya sering berubah-ubah ternyata bersahabat dengan Nita yang memiliki pribadi yang kalem dan biasa-biasa saja sejak mereka masih di bangku SMP.
Berhubung Nita juga adalah seorang pendengar yang baik, sering kali, Nita adalah tempat curahan isi hati Riri. Namun, di sisi lain, Riri juga memaklumi sikap Nita yang lebih suka menghabiskan waktunya di rumah dari pada kumpul dengan teman-teman.
Sesaat setelah pembicaraan tersebut, melihat Nita hanya diam saja, Riri jadi ikutan diam. Lama juga mereka berjalan melewati aneka rupa toko di dalam mall tersebut. Padahal Riri masih juga menanti-nantikan jawaban dari Nita atas pertanyaannya tadi.
“Dia ga masuk hari Senin depan karena alasan anaknya masuk rumah sakit, Ri,” ucap Nita tiba-tiba tapi masih dengan nada suara datar setelah berhenti di depan etalase toko boneka yang memamerkan sebuah boneka perempuan yang lucu. “Ibu mana sih yang kepingin anaknya sakit..” gumamnya lagi sambil tetap memandangi boneka tersebut. Lucu banget tuh boneka, pikirnya.
Namun, walaupun suaranya terdengar ikhlas mengucapkan kalimat-kalimat tadi, bagi Nita hal itu kontras dengan suasana isi hatinya yang paling dalam. Bagi Nita, Tasya hampir selalu menggunakan excuse anaknya sakit untuk absen.
Sebagai sahabat karib, Riri dapat menangkap kegalauan hati Nita.
“Tapi memang rasanya Tasya sudah berubah,” lanjut Nita lagi. Sepertinya kini Nitalah yang mulai mencurahkan isi hatinya. “Gue pernah liat dia di tangga darurat lagi merokok sambil melamun sendirian. Padahal, yang gue tau, dulu dia ga ngerokok.”
“Dia itu kan yang dulu elo bilang nikah setelah hamil duluan, kan?” tanya Riri dengan cepat sambil memandangi Nita karena tidak sabar mendapat jawaban dari seorang Nita yang sering berbicara dengan pelan dan nada yang lambat-lambat.
“Bosnya dia si Vero yang elo bilang galak itu, kan?” tanya Riri lagi, tidak sabaran.
“Iya. Vero hobi banget ngomel-ngomel sama gue, tapi kok Tasya sering ga masuk malah ga pernah ditegor. Tapi… yah… gimana yah...” Nita tidak melanjutkan kalimatnya. Dalam hal ini, Nita merasa tidak bisa mengkonfrontasikan kondisi yang dialami Tasya. Apalagi Nita sendiri belum berumah tangga. Jadi, ia merasa tidak punya kapasitas apa-apa untuk mengeluhkan tingginya frekwensi ketidakberadaan Tasya di tempat kerja.
Bersambung
Baca juga: "Pembacaan Cerber "Nita si Sekretaris" di Radio Cempaka Asri FM!" |