Sudah lama gak nulis blog, hari ini aku baru saja upload video lanjutan dari video nasihat buat yang mau menikah. Supaya pernikahannya langgeng dan bahagia. Mau, 'kan ? Banyak orang yang menikah tetapi tidak mesra hubungannya dengan pasangan. Masing-masing sibuk dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Padahal, menikah itu menyatukan dua orang dalam satu hubungan yang erat, ada ketergantungan satu sama lain. Dua jadi satu. I need you, like you need me. Gitu. Kalau orang menikah 'kan inginnya bahagia, awet selamanya, hingga maut memisahkan. Kalau menikah tetapi dingin satu sama lain. Tidak ada kangen lagi. Kepinginnya ketemu teman-teman yang asik itu. Siapa yang mau tinggal dalam pernikahan seperti itu? Nah, kalau video yang sebelumnya bisa dilihat dengan klik di sini , video lanjutannya bisa dilihat dibawah ini.. Sok, atuh, di tonton.. Jangan lupa SUBSCRIBE , ya... lalu share, mungkin ada yang perlu nasihat supaya mantap langkahnya untuk menikah. Take care!
CERITA SEBELUMNYA
Baru bergabung? Jangan mulai dari episode ini, baca dulu bagian:
Nita, seorang sekretaris, hidup dengan pikiran optimis namun tidak neko-neko. Namun, keoptimisannya kerap diuji, apalagi dia "hanya" seorang...
Artinya? Ih, kenapa sih? Nita jadi perang batin sendiri. Padahal saat itu Pak Wiguna masih ada di depannya.
“Nit, Bu Marsya cari elo tuh.” kata Ellen yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
“Iya.” sahut Nita dan segera terburu-buru menyelesaikan urusannya dengan Pak Wiguna.
Ah, sayang sekali, gara-gara panggilan Bu Marsya tersebut, pertemuan itu rasanya terasa mengambang saja... Walaupun, saat itu sebenarnya Nita sedang merasa tersanjung oleh kehadiran Pak Wiguna.
“Nita,” tiba-tiba tersadar dari lamunannya setelah Bu Marsya yang menyebut namanya itu menepuk bahunya.
“Ya, Bu?” sahut Nita masih dengan rasa kaget campur merasa malu. Untungnya aroma wangi parfum dari Bu Marsya bisa menenangkan pikiran Nita.
“Ke ruangan saya sebentar ya,” kata Bu Marsya sambil berjalan mendahului Nita masuk ke ruang kerjanya.
Nita jadi lemas. Pasti mau ngebahas tentang Vero. Jangan-jangan dia mau ngomelin gue lagi. Nita merasa sedikit cemas. Dia berjalan dengan langkah kaki yang berat memasuki ruangan bu Marsya.
“Saya memahami load kerja kamu yang banyak sekali, Nit,” kata bu Marsya setelah Nita masuk ke ruangan dan duduk di kursi depan meja bu Marsya.
Kalau sedang berbicara hadap-hadapan begini, Nita dapat memperhatikan ulasan make-up Bu Marsya yang pastinya menggunakan kosmetik kelas atas. Dalam kesan yang ditangkap oleh Nita, ulasan make up yang sangat halus tersebut cuma berasal dari perangkat make-up yang maha mahal. Makanya, walaupun sudah berusia empat puluh lima-an, dan walaupun Bu Marsya memiliki wajah tidak terlalu cantik namun penampilannya selalu terlihat sempurna.
Riasan bedak, pemerah pipi, alis, eye liner, dan mascara sangat ‘mengangkat’ kecantikan atasan Nita itu, yang tentu saja berkantung sangat jauh jauh jauh dan jauh lebih tebal dari Nita. Karena, untuk mendapatkan penampilan seperti ini pastinya dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Apalagi beliau juga punya beberapa koleksi perhiasan yang selalu dipadukan dengan baju, sepatu dan tasnya. Nita juga melihatBu Marsya menggunakan beberapa buah jam tangan yang cantik-cantik dan selalu serasi dengan pakaiannya. Rambutnya juga kelihatan menggunakan pewarna hitam, namun selalu ditata serapih yang mungkin saja hasil olahan seorang penata rambut.
Melihat keseluruhan penampilan Bu Marsya sehari-hari, sepertinya Nita tidak pernah sekalipun melihat Bu Marsya datang ke kantor dengan keadaan kusut. Dari pagi sampai sore, penampilannya selalu rapih sempurna serta selalu menjaga sikap yang anggun. Sehingga Nita sering merasa kikuk berhadapan dengannya.
Jadi, jika dibanding-bandingkan, kadang-kadang Nita merasa capek juga harus menjaga penampilannya agar tidak terlalu ‘jauh’ dari sang boss. Karena jika dihitung-hitung dari kemampuan keuangannya, tentu saja kesanggupannya sama sekali tidak setinggi beliau itu dalam memiliki pakaian atau sepatu yang lumayan bagus supaya bisa ‘mendongkrak’ penampilan.
“Tapi saya berharap kamu mau menjaga kerja sama dengan Vero. Bilang aja sama Ibu kalau memang kenapa-kenapa,” katanya dengan tatapan yang lurus pada Nita, dengan senyum ramah dan intonasi suara yang lembut namun jelas terdengar.
Dalam hati Nita jadi tersinggung dengan perkataan Bu Marsya. Emang si Vero pikir, kerjaan gue itu cuma bantuin dia doang? Lagian, si Tasya dan anak buahnya yang lain tuh ngapain aja? Nita jadi ngamuk-ngamuk dalam hati. Untung saja dia dapat menjaga sikap yang baik dengan tetap duduk manis di kursi tersebut.
“Bu…” Nita mencoba mempengaruhi Bu Marsya, namun dengan wajah sedikit pucat dan suara yang sedikit tergetar menahan marah. “Laporan itu sudah beberapa kali revisi waktu Vero minta bantuan sama saya. Jadi, kemarin memang saya tidak tau kalau angka yang itu harus diganti lagi.”
“Ga apa-apa kok, Nit,” jawab Bu Marsya dengan tajam tapi enteng. Kali ini volume suaranya terdengar lebih jelas dari sebelumnya. “Oke deh, gitu aja kok,” lanjut Bu Marsya yang maksud kalimat tersebut adalah untuk menghentikan pembicaraannya dan mempersilahkan Nita keluar ruangan.
Nita hanya bisa mengangguk saja dan sambil berjalan keluar dari ruangan Bu Marsya. Sambil berjalan menghampiri mejanya, Nita terdiam sebentar, lalu tiba-tiba dia berujar, ”Bu, hari ini Andy Smith berubah pikiran lagi ga sih? Dia kan dah tiga kali ganti-ganti jadwal meeting tuh, Bu, dan sampai sekarang sih ga ada beritanya,” kali ini nada suaranya terdengar sudah lebih tenang.
“Oh, iya yah? Tolong cari dia dong. Bilang dong, saya harus meeting biar saya dengar laporan Palembang dan bisa cepat-cepat final. Ajak Pak Walker ya?” jawab Bu Marsya tersenyum. Kelihatannya beliau lega karena Nita tidak berbantah-bantah dengannya.
Memang sampai saat ini Nita tidak berani berbantah. Cuma mengomel dalam hati saja. Oh, my God… Kirain dia mau ngebatalin aja tuh meeting. Duh, males banget urusan sama Andy Smith yang nyebelin. Persis Vero!
“Bye, Nita. See you tomorrow morning,” sapa Pak Walker padanya sambil melambaikan tangan dan berjalan menuju ruang reception lalu memasuki area lift executive.
Nita hanya tersenyum, dan melongok ke arah jam dinding. Ternyata waktu sudah menunjukkan jam enam lewat lima. Semua koleganya sudah tidak ada di tempat. Komputer mereka semuanya juga sudah dimatikan. Wah, Nita buru-buru mencatat beberapa rencana tugasnya yang akan dia lanjutkan keesokan harinya termasuk kegiatanya di hari ini, kemudian merapihkan meja, menguncinya dan akhirnya mematikan komputer.
Pulang ah, sebelum disuruh-suruh si Ibu lagi.
Saat itu Bu Marsya sedang bertelepon. Nita meninggalkan kantor sambil melambaikan tangan sebentar untuk berpamitan ke arah Bu Marsya dan segera meraih tasnya lalu cepat-cepat meninggalkan kantor. Dalam hati dia juga tidak ingin berpapasan dengan Vero yang mungkin saja akan menyuruh dia mengerjakan ini itu lagi tanpa mau tahu apakah hari sudah gelap atau tidak.
Bodo amat Vero! Ia mendesis dalam hati sambil berlari keluar melewati tangga darurat karena siapa tahu dia bisa saja berpapasan dengan Vero di depan lift.
Bersambung
Baca juga: "Pembacaan Cerber "Nita si Sekretaris" di Radio Cempaka Asri FM!" |