Sudah lama gak nulis blog, hari ini aku baru saja upload video lanjutan dari video nasihat buat yang mau menikah. Supaya pernikahannya langgeng dan bahagia. Mau, 'kan ? Banyak orang yang menikah tetapi tidak mesra hubungannya dengan pasangan. Masing-masing sibuk dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Padahal, menikah itu menyatukan dua orang dalam satu hubungan yang erat, ada ketergantungan satu sama lain. Dua jadi satu. I need you, like you need me. Gitu. Kalau orang menikah 'kan inginnya bahagia, awet selamanya, hingga maut memisahkan. Kalau menikah tetapi dingin satu sama lain. Tidak ada kangen lagi. Kepinginnya ketemu teman-teman yang asik itu. Siapa yang mau tinggal dalam pernikahan seperti itu? Nah, kalau video yang sebelumnya bisa dilihat dengan klik di sini , video lanjutannya bisa dilihat dibawah ini.. Sok, atuh, di tonton.. Jangan lupa SUBSCRIBE , ya... lalu share, mungkin ada yang perlu nasihat supaya mantap langkahnya untuk menikah. Take care!
- Baca artikel"Gossip.. Gossip.. Gossip..." di Cantik Selamanya, untuk melihat pengalamanku melawan gossip...
Gossip memang sering dicap sebagai kegiatan merusak, cenderung memecah belah. Bahkan di dunia kerja, para pelaku office politics, kerap mempergunakan orang yang dianggap sebagai "Bigos" [biang gosip], untuk menyebarkan isu-isu negatif.
Ironisnya, gossip juga kadang dianggap sebagai hobi yang lumrah. Ini memunculkan pertanyaan mengapa seakan orang sering membiarkan kontradiksi moral dalam bergosip secara transparan.
Memang, gossip bisa dipandang sebagai alat memperoleh kekuasaan, membentuk aksi dan memberikan impresi akan perlunya terjadi suatu perubahan. Gossip adalah "tangan tak terlihat", kekuatan naratif yang bisa memukul namun tak menandakan jejak.
Kathryn Waddington dari Institut Ilmu Kesehatan, London, dan Grant Michelson, dari Universitas Sydney meneliti gossip di dalam dunia kerja. Tujuannya, untuk mencari peluang manfaat organisasi dari kebiasaan ini. Toh, kebiasaan bergosip dianggap sulit dipadamkan. Karya ilmiah yang mereka tuliskan, telah dipresentasikan dalam "5th Critical Management Studies Conference", Sidney, 2007.
Meski dianggap fenomena umum, gossip jarang diteliti secara tuntas, acapkali diperlakukan semata sebagai bagian kekerasan atau cuma ekses kegagalan berkomunikasi. Malah, tidak jarang gossip ditangkarkan sebagai bagian wilayahnya perempuan (padahal, kaum lelaki pun gemar bergossip).
Waddington dan Michelson pun menggunakan beberapa data hasil penelitian di Inggris dan Australia tentang kesehatan dan performa bisnis. Penelitian ini tidak memberikan solusi, namun hal-hal yang bisa dianggap sebagai kunci pertanyaan untuk memahami gossip secara sistematis.
Gossip Dalam Organisasi
Bagi para karyawan, gossip adalah sarana melatih kesadaran akan apa yang sedang terjadi dalam lingkungan sosial mereka di kantor, termasuk untuk memahami keinginan penguasa. Dengan demikian, gossip bisa menjadi sarana curhat yang rekreatif, sehingga bisa merekatkan suasana hati para karyawan. Sifat "menghibur" inilah yang menyebabkan kebiasaan gossip sulit dimusnahkan.
Menurut Waddington dan Michelson, data-data mereka menunjukkan bahwa salah satu pencetus gossip adalah rasa ketakutan tentang masa depan dan keinginan untuk merubah sesuatu yang dianggap salah. Orang-orang cenderung akan berkumpul, berembug memecahkan misteri yang mengancam masa depan mereka. Ini pula yang menyebabkan rasa "anti gossip" cenderung muncul di antara kalangan atas suatu organisasi.
Perlu Kedewasaan
Sekiranya kita memelihara sikap empati maka gossip bisa menjadi indikasi akan pentingnya mencari tahu kecacatan dalam organisasi. Mengingat rasa kurang percaya alias ketakutan bisa dianggap sebagai pencetus gossip, maka untuk mampu menguraikan suatu gossip seorang pemimpin harus memiliki kesabaran, integritas, dan kepercayaan yang dapat dirasakan oleh seluruh karyawan.
Karena sifatnya yang membangun opini, gossip sangat penting untuk diamati, sebelum pesan di dalamnya diadopsi sebagai kebenaran. Ada banyak pesan tak terucapkan dalam gossip. Sehingga orang yang mau berjiwa besar untuk mengerti gossip perlu punya wawasan mendalam, kalau tidak justru akan menambah beban anggota organisasi lainnya.
Waddington dan Michelson menganjurkan akan salah satu hal pertama yang perlu ditetapkan dalam mengerti gossip adalah menciptakan konteks pemahaman yang jelas. Oleh sebab itu, pengurai gossip wajib pula pengertian mendalam tentang kebiasaan, cara berpikir para pelakunya.
Gossip jelas tidak bisa dipahami secara instan, karena selalu ada tantangan untuk mengkoreksi diri diteriakkan di dalamnya. Salah bersikap, orang yang punya niat mulia dalam menguraikan gossip malah bisa seperti menyiram bensin dalam kobaran api.
Jadi, jangan pernah anggap gossip berkepanjangan sebagai hal remeh. Karena kemampuannya menghabiskan energi organisasi, sesungguhnya sangat bisa dicegah...
Begini kata Ibu Waddington dan Bapak Michelson:
"Organisational change in its many manifestations provides a trigger for gossip. Gossip is used as a sensemaking strategy, a way of communicating and managing emotion, a mechanism for coping with uncertainty, and a means of sabotage and resistance." . |
Analysing gossip to reveal and understand power relationships, political action and reaction to change inside organisations (PDF, 65 KB)