Sudah lama gak nulis blog, hari ini aku baru saja upload video lanjutan dari video nasihat buat yang mau menikah. Supaya pernikahannya langgeng dan bahagia. Mau, 'kan ? Banyak orang yang menikah tetapi tidak mesra hubungannya dengan pasangan. Masing-masing sibuk dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Padahal, menikah itu menyatukan dua orang dalam satu hubungan yang erat, ada ketergantungan satu sama lain. Dua jadi satu. I need you, like you need me. Gitu. Kalau orang menikah 'kan inginnya bahagia, awet selamanya, hingga maut memisahkan. Kalau menikah tetapi dingin satu sama lain. Tidak ada kangen lagi. Kepinginnya ketemu teman-teman yang asik itu. Siapa yang mau tinggal dalam pernikahan seperti itu? Nah, kalau video yang sebelumnya bisa dilihat dengan klik di sini , video lanjutannya bisa dilihat dibawah ini.. Sok, atuh, di tonton.. Jangan lupa SUBSCRIBE , ya... lalu share, mungkin ada yang perlu nasihat supaya mantap langkahnya untuk menikah. Take care!


"Karena kita butuh satu sama lain, jangan sampai orang Indonesia direndahkan, dalam situasi apapun. Memang kita mau, disebut membutuh jasa orang yang rendah martabatnya?" [Dian Manginta, tentang RASA HORMAT ANTAR ORANG INDONESIA]


Syukurlah sang pengarang mau berbagai sampai novelnya sendiri selesai ditulis. Dia berjanji, setelah ini dia akan mengirimkan cerpen-cerpennya untuk menjadi selingan a-la sersan [SERius tapi SANtai]-nya Cantik Selamanya. Tapi karya Renthyna itu ternyata tetap saja serius, 'kan?
Sekretaris, Direndahkan
Kita yang mengangkat kehidupan seorang sekretaris yang memang sering terjadi di mana-mana di Indonesia. Gak tahu kalau di luar negeri - tapi aku akan bahas contoh dari luar negeri di bagian selanjutnya.Kesan bahwa pekerjaan sekretaris adalah pekerjaan yang remeh-temeh [sepele, maksudnya] sudah telanjur melekat pada jabatan sekretaris yang sebenarnya sentral. "Pembantu" yang satu ini bertugas mempermudah pekerjaan pimpinan.
Ah, ya, kok pembantu? Tapi memang banyak sekretaris yang merasa dijadikan seperti pembantu alias babu ketika kepadanya diberikan kewajiban tanpa batasan yang jelas.
Perasaan diperbabu menjadi terasa apabila sang boss selain tidak memberikan rincian job description yang tegas, juga meremehkan intelektualitas sang sekretaris. Seolah sekretaris itu "ada" tapi bisa dianggap "tiada".
Seperti yang dialami oleh karakter Nita yang dipandang sebelah mata oleh rekan sekerjanya [ya, "rekan"-lah namanya, meskipun mungkin kedudukannya lebih tinggi tapi bukan manager yang membawahi si sekretaris]. Perbabuan terhadap sekretaris agaknya diawali asumsi bahwa pekerjaan yang diberikan kepadanya hanyalah pekerjaan sederhana saja sehingga mudah mengerjakannya.
Padahal pekerjaan sekretaris yang keliatannya remeh itu justru menyelamatkan sang boss dari terjebak dalam mengerjakan detil pekerjaan sehingga kehilangan waktu untuk memikirkan strategi atau pemecahan masalah yang lebih besar. Jasa seorang sekretaris lah yang bisa menambah kemungkinan seorang boss bisa punya nilai karir yang bertambah besar.
Ada Pelajaran PeDe Dari Jepang
Kadang, kita berdalih bahwa tingkat ke-PeDe-an seseorang berbeda dari "sana"-nya. Sampai-sampai, misalnya, ada yang mengatakan bahwa orang Indonesia memang sudah punya cetakan minder, lebih rendah diri dibanding masyarakat negara lain.
Tapi Susumu Yamaguchi dari Universitas Tokyo dan beberapa rekan sesama peneliti psikologi dari Jepang dan Amerika Serikat punya pendapat lain: rasa PeDe sebetulnya universal. Kepercayaan diri tak selamanya bisa dilihat berkaitan dengan ras, suku bangsa, dan negara malah sejatinya kita bisa melihat relasi pencetus rasa PeDe di antara unsur tadi.
Yamaguchi dan kawan-kawan memang yakin bahwa rasa PeDe tidak harus selalu eksplisit alias bisa tampak jelas dalam perilaku, misalnya dari cara bertingkah saat berada di tengah keramaian. Namun tingkat ke-PeDe-an juga bisa diukur secara implisit, yaitu dengan melihat bagaimana seseorang menentukan citra dirinya. Secara implisit, makin PeDe seseorang, ia akan tambah yakin dirinya layak punya nilai hubungan setara dengan orang lain.
Kemudian Susumu Yamaguchi dan kawan-kawan meneliti 505 mahasiswa sebagai subyek penelitian. Mereka dibagi dalam 3 [tiga] grup mahasiswa di juga 3 [tiga] negara berbeda, yaitu Jepang, China, dan Amerika Serikat. Yamacuhi dan kawan-kawan, sebetulnya ingin melihat bagaimana rata-rata kepercayaan diri implisit masing-masing saat berada di sekitar kawan/sahabat dan di dalam kelompok umum.
Di samping itu, mereka juga melihat bagaimana perangai eksplisit masing-masing subyek saat berada di dalam kelompok umum. Artinya, Yamaguchi dkk menilai sikap mereka bilamana berada di depan publik - misalnya - akan menonjolkan diri atau tidak.
Ternyata hasilnya cukup mengejutkan. Mahasiswa Jepang memiliki citra diri jauh lebih tinggi dibanding dua kelompok tadi namun saat di depan publik, grup dari Negeri Matahari Terbit memperlihatkan sikap jauh lebih rendah diri dibanding mahasiswa China dan Amerika Serikat.
Artinya, meski terlihat sangat merendahkan hati saat di depan umum namun mahasiswa Jepang sebetulnya tetap punya rasa percaya diri sangat tinggi dibanding kelompok lain yang secara eksplist bersikap PeDe. Meski tampak humble, tiap orang Jepang cenderung sangat yakin ia layak memiliki relasi setara dengan anggota masyarakat lain.
Yamaguchi dan rekan-rekan menjelaskan bahwa kemungkinan besar hal ini terjadi lantaran saat keluarga Jepang sangat menanamkan keyakinan bahwa diri mereka sangat bernilai tinggi. Meskipun di saat yang sama budaya masyarakat Jepang mengharuskan setiap orang bersikap rendah hati, tak menilai diri lebih tinggi dari yang lainnya.
Kuatkan Rasa PeDe Sesama Orang Indonesia!
Hasil penelitian Yamaguchi memberikan cermin dari masyarakat Jepang bahwa adalah penting untuk menanamkan rasa keyakinan diri. Bahwa manakala ingin melihat orang memiliki sikap rendah hati, kita juga wajib menginginkan orang tersebut memiliki apresiasi diri yang tinggi.Seandainya ada beberapa orang yang tak memiliki keyakinan bahwa dirinya layak berinteraksi dengan orang lain, bayangkan betapa rendahnya kualitas kerja seluruh kelompok tersebut! Tak ada rasa percaya, malah bisa cuma saling menjatuhkan.
Sekarang, bisa 'kan kita melihat bahwa Nita adalah semacam simbol harapan Renthyna supaya orang Indonesia bisa memiliki kelompok-kelompok kerja terkuat di dunia... yang hanya mungkin tercipta manakala orang-orang Indonesia sangat menghargai kedudukan masing-masing?
Jadi kepengen baca novel "Nita, Si Sekretaris" cepat-cepat, ya? ;)
Have a nice weekend, my beloved readers....
Perlu dibaca juga di Cantik Selamanya:
- Facebook Page Renthyna - Nita, Si Sekretaris
- Cerita Bersambung - Nita Si Sekretaris
- Pentingnya Menghindari Lingkaran Setan "Tidak PeDe" (Hasil Riset)
- Bahasa Inggris, PeDe Aja Lagi!
- Percaya Diri, Tambah Cantik dan Gaji...
- Sekretaris
- No one is allowed to see any of our fellow Indonesian as meek and has less value! Terus, gabung di halaman facebook "Cantik Selamanya", yiuk yaak yiuuuk? ;)